Kamis, 23 Januari 2014

Tentang OCD ( Obsessive Corbuzier’s Diet )

[caption id="attachment_6568" align="aligncenter" width="800"]Diet. From : http://www.belgraviacentre.com/ Diet. From : http://www.belgraviacentre.com/[/caption]

Diperkenalkan oleh mentalist Deddy Corbuzier, cara diet ini seketika menjadi hits sekaligus kontroversi para ahli gizi. Tutorialnya berupa e-book banyak diunduh dari internet dan diikuti sederet selebritas lainnya, seperti presenter Olla Ramlan, penyanyi Vicki Shu, dan aktor Chicco Jerikho. Deddy sendiri menyebut OCD sebagai cara hidup, bukan semata pola makan.


Metode diet OCD ini mirip dengan puasa berjeda. Ada tenggang waktu selama 8, 6, atau 4 jam dalam sehari untuk makan. Setelah lewat jam itu haruslah berpuasa, sekalipun masih diperbolehkan minum air putih atau mengonsumsi apa pun yang tidak mengandung kalori. Deddy menamai periode ini sebagai ‘jendela makan’. Selama berada dalam ‘jendela makan’, makanan apa pun boleh dikonsumsi tanpa pantangan.


Setelah sanggup menjalankan puasa dengan ‘jendela makan’ 4 jam, Deddy selanjutnya menyarankan berpuasa 24 jam penuh, selama (maksimal) tiga kali dalam seminggu. Ini berarti makan hanya satu kali di jam tertentu, dan kembali makan pada jam yang sama keesokan harinya. Ia juga merekomendasikan untuk tidak langsung makan pagi setelah bangun tidur, melainkan menunggu hingga minimal tiga jam setelahnya. Menurutnya, makan pagi hanya akan menghambat kesempatan pembakaran lemak ketika tubuh mulai beraktivitas kembali di pagi hari.


Menurut Emilia E. Achmadi, MS., RD. dari Healthy Lifestyle Program, pola puasa berjeda seperti ini harus disikapi dengan hati-hati. Ibarat sebuah mesin, tubuh manusia, yang memiliki fungsi fisik maupun hormon, membutuhkan asupan makanan yang konsisten sebagai sumber energi baru. Adanya ‘jendela makan’ pada akhirnya akan membatasi asupan tersebut, apalagi rentang waktunya kemudian  makin memendek, sehingga kalori yang dikonsumsi pun makin lama akan makin berkurang.


Lama waktu puasa yang bervariasi, mulai dari 16 hingga 24 jam, sebetulnya jadi salah satu kelebihan metode ini, karena memaksa orang untuk tidak makan atau ngemil tak terkontrol di luar jam makan. Bagi orang yang sulit mengatur pola makan, teknik ini akan mendisiplinkan jam makan mereka.


Sayangnya, pola makan ini tidak memiliki panduan dalam mengatur jenis makanan yang masuk. Akibatnya, orang yang menjalankannya tidak memperbaiki pola makan mereka. Mereka hanya mempertimbangkan kalori tanpa memperhitungkan keseimbangan gizi. Kekurangan asupan nutrisi penting yang dibutuhkan tubuh adalah konsekuensinya.


Emilia juga tidak menganjurkan untuk melewatkan sarapan sebagai bagian dari pola makan. Sebab, setelah tidur selama sekitar 8 jam, kadar gula darah dalam tubuh akan rendah (survival mode). Ketika sumber gula darah yang baru tidak segera didapat, tubuh akan memproduksi hormon ghrelin yang mendorong hasrat kita untuk mencari sumber makanan tinggi gula dan lemak secara kalap.


Saat kebutuhan nutrisi dalam kondisi ini dipenuhi dengan makanan berkalori tinggi, gula darah akan cepat naik, tetapi juga cepat turun. Jika ini berlangsung terus-menerus, bukan saja berat badan yang tidak terkontrol, tapi juga gula darah. Ketidakseimbangan gula darah ini membuat tubuh berpotensi menderita diabetes melitus setelah menginjak usia 40 tahun ke atas.


Pola makan seperti ini, Emilia menilai, tidak cocok dilakukan semua orang, melainkan hanya untuk mereka yang memiliki kebutuhan spesifik, misalnya harus menurunkan berat badan secara drastis (bagi yang obesitas) atau membentuk otot, dan harus berada di bawah pengawasan ahli nutrisi. Orang-orang dengan penyakit degeneratif seperti jantung, hipertensi dan diabetes, anak-anak dalam masa pertumbuhan, serta wanita hamil dan menyusui, dilarang melakukan pola makan ini.


femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar