Dieng plateu yang memesona. Panorama elok nan hijau pada pagi hari bak negeri di atas awan berwarna kuning kemerahan. Dieng terletak dikelilingi gunung vulkanik. Semakin menarik dengan daya tarik mistik candi-candi peninggalan Kerajaan Hindu Dinasti Syailendra yang masih berdiri gagah sampai saat ini. Tidak salah lagi, inilah lokasi pendakian romantis Anda bersama pasangan di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah.
Dieng Plateu berada di ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut. Konon, dataran yang sering disebut sebagai negeri khayangan ini merupakan dataran tertinggi kedua di dunia setelah Nepal. Kawasan ini kerap diselimuti kabut tebal, dengan suhu udara yang dingin menusuk tulang. Temperatur berkisar antara 15 °C hingga 20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Bahkan, suhu udara terkadang dapat mencapai 0 °C di pagi hari, terutama pada bulan Juli dan Agustus. Pada saat pagi hari itu pula embun sering menggumpal menjadi kristal es. Penduduk setempat menyebut embun itu sebagai bun upas, yang artinya "embun racun" karena embun ini menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.
Keindahan alam berselimut mistik
Dieng yang merupakan wilayah vulkanik aktif ini dapat dicapai dari Jakarta dengan menggunakan pesawat tujuan Jakarta – Solo atau Jakarta – Yogjakarta. Setelah tiba di Yogja atau Solo, Anda dapat melanjutkan perjalanan dengan kereta api atau bus menuju Purwokerto. Dari Purwokerto, Anda masih harus melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Wonosobo. Setibanya di Wonosobo, masih ada satu kali perjalanan bus lagi untuk mencapai Dieng. Terdapat beberapa objek wisata yang termasuk ke dalam wilayah admistratif Kabupaten Wonosobo, di antaranya adalah Telaga Warna, Telaga Pengilon, Goa Semar, Goa Sumur, Goa Jaran, Batu Tulis atau Batu Semar, Kawah Sikendang, Telaga Cebong, Air Terjun Sikarim, Air Terjun Seloka, Gunung Sikunir, dan Telaga Menjer.
Lokasi pertama yang saya kunjungi adalah komplek objek wisata Telaga Warna. Termasuk di dalamnya adalah Telaga Pengilon, Goa Semar, Goa Sumur, Goa Jaran, dan Batu Tulis atau biasa juga disebut Batu Semar. Letaknya kurang lebih 500 meter ke sebelah kiri dari pertigaan gerbang utama daerah wisata Dieng Plateu. Sesuai dengan namanya, telaga ini memang memiliki keunikan yang dipancarkan dari warna airnya yang dapat berubah-ubah atau berwarna-warni. Telaga yang saat itu diselemuti kabut tebal akibat hujan ini merupakan telaga yang mengandung lapisan sulfur. Telaga akan memancarkan warna yang sangat indah pada saat matahari bersinar terik sehingga terjadi pembiasan cahaya. Namun sayang, pada saat saya kunjungi, telaga warna tersebut hanya memancarkan warna hijau.
Telaga Warna ini berada tepat di dalam kawah dengan kedalaman antara 10 sampai 20 meter. Maka jangan heran jika suatu saat Anda berkunjung ke sini kemudian mencium sedikit bau tak sedap alias bau belerang.
Selepas dari Telaga Warna, saya melanjutkan perjalanan menuju sebuah telaga yang menghampar nan berkilau. Masyarakat menyebutnya sebagai Telaga Pengilon atau telaga cermin. Karakter alam telaga ini tidaklah berbeda dengan Telaga Warna. Namun Telaga Pengilon ini berhubungan dengan legenda cerita Ramayana. Konon dahulu kala, dua kakak beradik bernama Sugriwo dan Sebali pernah mendapatkan perintah dari Batara untuk mencari pusaka cupumanik astogina yang terletak di dalam Telaga Pengilon. Disebabkan hati sanubari mereka yang tidak jujur, maka setelah mereka masuk ke dalam air dan mengambil pusaka cupumanik astogina, secara tiba-tiba tubuh mereka berubah menjadi seekor monyet. Jadi, memang hanya orang-orang yang berhati mulia saja yang bisa bercermin di Telaga Pengilon. Bagaimana dengan Anda? Coba deh..
Masih di sekitar komplek objek wisata Telaga Warna, saya juga menemui beberapa objek-objek wisata lain yang tak kalah menarik dan tentunya beraroma mistik. Di antaranya adalah Goa Semar. Goa yang ditandai dengan berdirinya patung semar berwarna emas pada bagian depan pintu masuk tersebut dikenal luas sebagai tempat pertapaan untuk mendapatkan kekebalan tubuh. Namun bagi para pengunjung yang ingin melakukan ritual pertapaan harus meminta izin dari juru kunci terlebih dahulu, sebab tidak semua orang bisa mendapatkan izin untuk bertapa di dalam Goa Semar. Setelah memenuhi seluruh persyaratan yang diminta oleh juru kunci, kemudian pengunjung dapat melakukan ritual semedi di dalam Goa. Di bagian dalam Goa Semar ini terdapat sebuah batu ritual, yaitu semacam batu yang berbentuk bulat yang dipergunakan untuk meletakkan sesaji. Salah satu mitos Goa Semar lain yang berhubungan dengan kehidupan warga di sekitarnya adalah sejarah fenomena anak rambut gimbal. Menurut cerita dan mitos yang berkembang, diyakini pada jaman dahulu sesepuh warga sekitar adalah manusia berambut gimbal yang menetap di Goa Semar tersebut.
Salah satu mitos Goa Semar lain yang berhubungan dengan kehidupan warga di sekitarnya adalah sejarah fenomena anak rambut gimbal.
Best Romantic View
Pada hari berikutnya, agenda saya adalah mendaki Bukit Sikunir untuk mendapatkan pemandangan sunrise terbaik di dataran tinggi Dieng. Lokasi viewing sunrise ini berjarak sekitar 7 kilometer dari Dieng yang melewati Desa Sembungan. Konon desa yang terletak persis berdampingan dengan Telaga Cebong ini merupakan desa yang berlokasi paling tinggi di Pulau Jawa, yakni 2077 meter di atas permukaan laut. Dengan tubuh sedikit menggigil kedinginan, saya berangkat dari hotel pada pukul 3 pagi. Sebab untuk mendapatkan pemandangan matahari terbit terbaik di Bukit Sikunir, para wisatawan setidaknya berada di bukit tersebut pada pukul 5 pagi. Perjalanan dari Dieng menuju Bukit Sikunir memang dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, namun saat tiba di Telaga Cebong para wisatawan tidak lagi dapat membawa kendaraannya karena sudah memasuki jalur pendakian yang terjal sejauh 500 meter.
Pendakian terjal melelahkan bukanlah tanpa buah tentunya. Rasa letih peluh berkeringat terbayarkan saat saya tiba di puncak Bukit Sikunir yang menakjubkan. Panorama itu begitu indah dengan sempurnanya sinar matahari terbit berwarna keemasan menerobos awan dan Gunung Sindoro - Sumbing yang berdiri gagah di depan saya. Panorama semakin cantik dengan berjejernya Gunung Merbabu dan Merapi yang memecah eureka. Sungguh, saya seperti melihat dua titik sunrise.
Sepertinya dua sunrise ini disebabkan karena munculnya matahari pada awal ( gold sunrise ) yang berada di bukit sebelah kiri dan kemudian tertutupi oleh bukit dan Gunung Sindoro yang lebih tinggi. Fenomena tersebut kemudian berubah pada jam 7 hingga 8 pagi. Saat itu matahari tertutup oleh awan kemudian muncul lagi dari balik Gunung Sindoro dengan warna yang sudah perak. Saat kemunculan kedua inilah mereka terpecah yang menjadikannya terlihat seperti dua sumber cahaya matahari. Pada waktu yang bersamaan awan akan terlihat lebih tebal. Tinggi awan tidak lebih dari leher gunung yang saya injak ini.
Inilah apa yang saya sebut “The Land Above The Clouds”.
Goa
Hingga saat ini warga masyarakat bekerja sama dengan Dinas Pariwisata secara rutin selalu mengadakan acara ritual pemotongan rambut gimbal setelah diarak dari kampung halamannya dan kemudian melakukan selamatan pada bulan suro di Goa Semar yang saya kunjungi ini. Selain Goa Semar, saya juga menemui Goa Pengantin yang baik bagi para pencari jodoh untuk bersemedi, juga Goa Sumur yang memiliki mata air abadi. Kabarnya air dari mata air abadi tersebut dipercaya dapat membuat awet muda bagi siapa saja yang meminumnya. Dieng yang merupakan daerah vulkanik tentu juga memiliki objek wisata kawah, salah satunya adalah Kawah Sikidang.
Kawah
Lokasi objek wisata kawah ini merupakan tempat favorit bagi wisatawan di Kabupaten Banjarnegara, karena merupakan kawah vulkanik dengan lubang kepundan yang dapat disaksikan dari bibir kawah. Uap air dan lava berwarna kelabu selalu bergolak dan munculnya berpindah-pindah bahkan melompat seperti seekor kidang. Sehingga dikenal dengan nama Kawah Sikidang. Kawah ini merupakan kawah vulkanik dengan lubang kepundan yang berada di daerah dataran sehingga dapat disaksikan langsung dari bibir kawah. Saat ini Kawah Sikidang masih berstatus aktif mengeluarkan uap panas sehingga menimbulkan air kawah yang mendidih dan bergejolak. Di akhir kunjungan, saya menyempatkan diri untuk menikmati sepiring Mie Ongklok khas Dieng seharga RP 5,500,-. Selain itu, saya juga sempat mencicipi secangkir kopi Purwaceng seharga Rp 7,500,- yang banyak tersedia di warung-warung sekitar objek wisata Kawah Sikidang. Selain untuk menghangatkan tubuh, kopi ini juga dipercaya dapat meningkatkan kualitas kejantanan pria.
Candi-candi Bersejarah
Tidak lengkap rasanya bila berkunjung ke Dieng tanpa menghampiri candi-candi khas “negeri di atas awan” ini. Candi Bima yang pertama kali saya kunjungi. Berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi komplek objek wisata Telaga Warna. Kelompok Candi Bima kini tinggal satu candi saja dan terletak pada deretan ujung paling Selatan, menghadap ke Timur. Batunya berbentuk bujur sangkar berukuran 6 x 6 meter, sedangkan fondasinya berbentuk segi delapan, tinggi candi 8 meter. Dibandingkan dengan candi-candi lainnya, Candi Bima termasuk paling utuh. Gaya bangunannya khusus. Atapnya dipenuhi hiasan dan terdiri dari tiga tingkatan yang batas-batasnya tidak jelas. Bentuk seluruhnya seperti Sikhara ( seperti mangkuk yang ditangkupkan ) di India Utara, hanya hiasan-hiasan menara dan relung-relung yang ber bentuk tapal kuda menunjukkan pengaruh India Selatan. Dahulu Candi Bima mempunyai 24 arca kudu, yaitu arca yang berbentuk kepala manusia yang seolah-olah melongok keluar dari bilik jendela yang masing-masing beratnya sekitar 15 kilogram, tinggi 24 cm, lebar 20 cm dan tebal 27 cm. Namun, karena seringnya terjadi pencurian di komplek Candi Dieng, terutama Candi Bima, maka saat ini arca yang terdapat di Candi Bima hanya sekitar 13 buah saja.
Setelah mengunjungi Candi Bima, saya melanjutkan perjalanan menuju kelompok Candi Dwarawati. Kelompok candi ini terletak paling Utara diantara candi-candi di dataran tinggi Dieng yang didirikan di Bukit Perahu. Dahulu kelompok ini terdiri dari dua buah candi, yakni Candi Dwarawati (di sebelah Timur) dan Candi Parikesit (di sebelah Barat).
Namun, saat ini yang masih berdiri hanya Candi Dwarawati saja. Candi Dwarawati menghadap ke arah Barat dengan bentuk empat persegi panjang, berukuran panjang 5 meter dan lebar 4 meter, sedangkan tingginya 6 meter. Pada masing-masing dinding luar dan dalam candi terdapat relung-relung tempat arca yang sudah kosong, kecuali sebuah alas arca di dalam bilik candi ( dhatu garbha ). Sedangkan, atap candi berhias menara-menara kecil dan dihias dengan simbar-simbar lukisan kepala. Bentuk atap dan hiasan-hiasannya merupakan pengaruh dari India Selatan.
Selepas mengunjungi kelompok Candi Dwarawati, saya mengunjungi satu kelompok candi lagi yang terluas di Dieng, yaitu kelompok Candi Arjuna atau biasa juga disebut Candi Dieng. Kelompok yang memanjang dari Utara ke Selatan ini terdiri atas dua deretan candi, yakni deretan sebelah Timur dan sebelah Barat. Lokasinya persis di tengah-tengah pegunungan dataran tinggi Dieng. Deretan sebelah Timur semua menghadap ke Barat dan terdiri atas beberapa bangunan candi, yakni; Candi Arjuna - Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. Sedangkan, deretan sebelah Barat tinggal satu candi yang masih berdiri, yakni Candi Semar yang berhadapan dengan Candi Arjuna.
Berbeda dengan kelompok Candi Dwarawati yang denahnya empat persegi panjang, candi-candi kelompok Arjuna berdenah bujur sangkar, tanpa penampil, hanya di bagian depan terdapat bilik pintu masuk yang menjorok ke depan. Pada dinding terdapat relung-relung dan berbagai hiasan. Di bagian depan berhias kala-makara. Atapnya kaya akan hiasan. Sayang, kebanyakan candi di kompleks ini sudah rusak dan bebeberapa di antaranya tinggal fondasinya saja. Sebenarnya sekitar 200 meter di sebelah barat-daya kelompok Candi Arjuna terdapat sisa-sisa bangunan yang dikenal sebagai Candi Setyaki, Petruk, Antareja, Nala Gareng, Nakula dan Sadewa, namun sudah sulit diidentifikasi karena tinggal fondasi-fondasinya saja.
Selain beberapa kelompok candi di atas, masih ada kelompok Candi Gatot Kaca yang berlokasi agak tinggi dibandingkan dengan kelompok Arjuna, yakni di sebelah Barat telaga Bale Kambang dan di lereng bukit Panggonan. Candi Gatotkaca menghadap ke Barat dan berdenah bujur sangkar berukuran 4,5 x 4,5 meter, dengan penampil pada masing-masing sisinya.
Foto oleh : Adhikka Putra Sagala
Teks oleh : Febrian Djaka Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar